Senin, 05 Maret 2012

Cangok Duren, Orang Jambi lah tu


Jalan Jendral Soedirman ramai sore itu, saat kami tiba. Tampak polisi berseragam mengamankan lalu lintas, sehubungan dengan pagelaran Hari Pers nasional yang akan digelar di Jambi. Selain polisi, yang mencolok di sepanjang trotoar adalah penjual buah berkulit tajam, durian, masyarakat Jambi menyebutnya duren. Sepanjang trotoar ini, kami tak hanya mendapati satu atau dua, tapi lebih dari lima pedagang yang menjajakan dagangannya. mereka sibuk menata duren dengan tumpukan yang ditata sedemikian rupa agar lebih enak dilihat. Itulah tujuan kami datang kesini: menikmati duren jongkok. Makan duren sambil jongkok di pinggir jalan.

Bang Adi, penjual duren yang kami temui sedang sibuk membersihkan kulit durian dengan kumpulan lidi pendek yang diikat jadi satu dan difungsikan selayaknya kuas untuk membersihkan kulit buah durian dari rumput-rumput sisa panen. Bang Adi telah menggelar jualannya sejak sore baru menjelang. Duren adalah buah paling popular di Jambi, tak heran tiap musim durian tiba pedagang macam Bang Adi ramai berjualan di spot-spot strategis seperti simpang sukarejo ini. Ketika kami hampiri, Bang Adi segera mengeluarkan koleksi durian super yang disebutnya berasal dari Bungo itu. Yap! Kawasan simpang Sukarejo selalu jadi pusat penjualan duren setiap musim duren tiba. “Kali ini durennyo dak putus-putus dek, sudah satu setengah tahun ini abang jualan duren di sini. Dan masih rame jugo… Orang Jambi emang paling cangok kalo makan duren” demikian jawaban Bang Adi ketika ditanya mengenai komoditas dagangannya.

Selain didatangkan dari kabupaten Bungo, duren–durennya juga didistribusikan dari Padang. Menrutnya tidak ada perbedaan yang begitu mencolok antara duren Jambi dengan duren dari luar Jambi. “Mau duren Jambi, Bungo, Kumpe, Padang, ato Medan sekalian harganyo samo bae kalo di sini. Yang membedakan tu Cuma ukuran samo kualitas.” Jelasnya. Adi juga mengumpamakan duren seperti pesawat “Ado yang kelas eksekutif, seperti yang sayo jual ini kan, ado yang bisnis, ado yang ekonomi. Tergantung konsumen mau yang kayak mano. Harganyo sudah pasti beda, pengaruh dari kualitasnyo tadi” ujarnya pria asli Palembang ini.

Di tengah perbincangan, datang sekelompok pembeli yang memilah-milah duren Bang Adi. Mereka segera terlibat tawar-menawar harga yang tidak begitu sengit, rata-rata harga duren di kawasan ini memang tidak jauh berbeda satu sama lainnya. Lantaran sudah menyetujui harga, serombongan pembeli yang tampaknya bukan orang Jambi asli itu segera menyantap duren di lapak itu. Kami menanyai salah satu pembeli yang terlihat begitu menikmati duren tersebut bagaimana rasa duren yang sedang dimakannya, dengan senyum lebar pembeli tersebut berkata “Nyaman!” sambil mengacungkan durennya. Selidik punya selidik ternyata si pembeli adalah wisatawan dari Kalimantan Tengah.

Setelah meladeni serombongan pembeli itu, Bang Adi kembali ke pembicaraan bersama Trotoar. Beliau menjelaskan proses berjualan di kawasan Sukarejo yang ternyata tidaklah ribet sama sekali. “Pertama kali mau jualan yang penting punya modal. Modal Abang dulu Cuma 600 ribu, itulah yang diputar setiap hari. Cukup izin dengan yang punyo tempat, terus bayar duit lampu utnuk penerangan malam-malam. Terus ya pandai-pandai kito lagi lah meladeni pembeli. Di sini kan lokasinyo strategis, sudah terkenal jugo sebagai tempat tukang duren ngumpul. Jadi dak takut dak kebagian pemebeli. Namonyo rejeki dak kemano.” Ceritanya panjang lebar. Bang Adi juga mengutarakan bahwa pembeli berasal dari semua kalangan. Dari yang pejalan kaki seperti kami, hingga mereka yang bermobil mewah, semuanya beli duren di sini. Mungkin memang benar ucapan lelaki berperawakan sedang ini, orang Jambi memang cangok masalah duren

Untuk mendapatkan duren yang nikmat, pembeli bisa mengenalinya dari bau yang harum khas durian, durinya besar-besar dan ukurannya konsisten, bisa juga dengan mengenali suara gedebuk dari duren jika diketok-ketok menggunakan parang. Yang pasti jangan beli duren yang dijemur kena panas, apalagi yang sudah meletek. “Masuk angina durennyo agek” katanya. Dan yang penting adalah harus tahu seni makan duren. Duren paling enak dimakan beramai-ramai di ruangan terbuka, lebih terasa suasanya belah durennya.

Yang jadi masalah, kebanyakan makan duren terkadang membuat sebagian orang mabuk duren. Nah, Bang Adi memberi sedikit tips sederhana jika anda tidak ingin mabuk duren yaitu dengan meminum airputih langsung dari kulit duriannya, atau minum air garam. Untuk menghilangkan baunya ditangan, tinggal cuci saja tangan didalam kulit duren. Gampang toh?

Pria ramah yang kental benar logat malayanya ini menutup perbincangan di hari yang semakin sore itu dengan menjelaskan beberapa olahan duren yang bisa dibuat jika dagangannya tak habis dalam sehari. “Tinggal dibikin tempoyak, lempok, atau gulo duren. Jualan duren itu hamper dak ado ruginyo. Orang Jambi bukan Cuma suko makan duren segar kayak gini kan, tapi olahannyo pun dilahap.” Jelasnya sembari tersenyum lebar. Kami pun menutup sore yang teduh itu dengan senyum lebar, dan nafas penuh bau duren. Benar kata Bang Adi, orang Jambi memang cangok duren!

(Siti Sarah & Cholidah)

“Sayang kalau kita sendiri tidak tahu sejarah kita”




Museum Perjuangan, atau juga dikenal sebagai Museum kapal terbang Jambi siang itu terlihat lengang. Hanya ada beberapa orang berseragam PNS tengah bercengkrama di halaman depannya sambil menikmati hari yang terlihat mendung. Kami masuk ke musem dan disambut dengan ramah oleh bapak petugas museum hari itu. “Mau kunjungan ya dek? Ayo mari-mari silahkan masuk” sapanya ramah.

Setelah kami membayar tiket masuk dan mendapatkan brosur dari resepsionis, pencarian informasi tentang menara air yang kini dikenal sebagai menara PDAM yang terletak tepat di depan museum perjuangan pun dimulai. Asril, petugas musem, memandu kami. Setelah secara singkat menjelaskan mengenai beberapa benda yang ada di museum tersebut seperti replika pesawat yang ada di halaman museum yang begitu ikonik.

Replika tersebut adalah model dari pesawat yang kini karam di sungai Batang Hari dekat kawasan yang kita kenal kini sebagai Sijenjang. Setelah itu kami diperkenalkan dengan sosok pahlawan Jambi, Sultan Thaha yang adalah anak dari Orang Kayo Hitam yang gigih melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan.

Setelah cerita sampai pada masa kemerdekaan, kami disuguhi cerita mengenai pengibaran bendera merah putih yang pertama kali di Jambi. Sayangnya informasi yang bisa digali dari museum pun ternyata masih kabur. Belum banyak penyelidikan mendalam mengenai peristiwa bersejarah ini.

“Masyarakat Jambi baru menerima berita kemerdekaan pada tanggal 19 Agustus 1949. Zaman dulu kan radio masih sangat ekslusif, jadi penyebaran berita pun sangat sulit” terangnya.

Cerita mengenai pengibaran benderanya sendiri bermula di kawasan benteng (kawasan yang kini kita kenal sebagai simpang museum perjuangan). Menara air (Water Toor) sendiri dipilih sebagai tempat pengibaran dikarenakan oleh posisinya yang berada tepat di samping bekas kerajaan Melayu Jambi atau disebut Tanah pilih (sekarang mesjid Al-Falah) dan diperkirakan adalah bangunan tertinggi di Jambi pada masa itu. Pada hari yang sama, diadakan juga upacara bendera untuk merayakan hari kemerdekaan. Sayangnya, tidak ada keterangan mengenai siapa yang pertama kali mengibarkan sang saka merah putih di bumi pesako betuah ini. Keberadaan benderanya sendiri pun masih dalam tanda Tanya besar.

Yang disayangkan adalah tidak adanya perawatan khusus pada menara yang kini menjadi bagian dari kantor pemerintahan itu. Bangunan bergaya art deco peninggalan Belanda itu kini menjadi tempat kosong yang tak lagi difungsikan seperti sedia kala. Dahulu menara itu menampung persediaan air bagi masyarakat Jambi. Kawasan benteng sendiri yang membentang dari korem dekat SMPN 1 Jambi hingga Danau sipin, dahulu adalah daerah elit pemerintahan dengan gedung-gedung pemerintahan yang kini entah apa kabarnya.

“Kita sendiri masih mensurvey mengenai sejarah kemerdekaan di Jambi, rasanya kan sayang kalau kita sendiri tidak tahu sejarah kita.” Ujar lelaki berpenampilan bersahaja ini.

Alhasil, data yang kami dapatkan hanya sepanjang cerita dan diorama-diorama mengenai pengibaran bendera semata.

Tak sampai di situ saja, kami juga mengunjungi menara air yang kini tak lagi menjadi bangunan tertinggi di Jambi itu. Satpam PDAM yang bertugas hari itu membenarkan bahwa menara tersebut adalah menara yang dahulu menjadi saksi kemerdekaan menyentuh Jambi ini. Malah, satpam yang bersangkutan mengatakan bahwa tempat yang sudah lama kosong dan tidak dimasuki orang itu angker dan berhantu. Trotoar juga tidak berhasil mendapatkan izin untuk masuk, karena dikhawatirkan gedung yang tidak pernah dibuka itu sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Sungguh mengecewakan jika pemerintah tidak memelihara cagar sejarah semacam ini. Bangunan asli peninggalan Belanda sudah sangat jarang dilihat di Jambi. Padahal gedung yang menyimpan banyak sejarah ini juga berada tepat di pinggir jalan.

“Semestinya kalo memang itu tempat pengibaran benderea pertama kali di Jambi harus ada lah paling tidak keterangannya. Pemerintah juga masak tidak menghargai sejarah, harusnya ada perawatan untuk gedung tua seperti itu.” Kata Pipit dan Melisa, dua mahasiswa yang kami tanyai tentang menara air tersebut.

Reporter : Cholidah, Siti Sarah, Juli Maria, Jelita Sartika Lestari T, Fitri Wahyuni, Zakia Era Zuana