Museum Perjuangan, atau juga dikenal sebagai Museum kapal terbang Jambi siang itu terlihat lengang. Hanya ada beberapa orang berseragam PNS tengah bercengkrama di halaman depannya sambil menikmati hari yang terlihat mendung. Kami masuk ke musem dan disambut dengan ramah oleh bapak petugas museum hari itu. “Mau kunjungan ya dek? Ayo mari-mari silahkan masuk” sapanya ramah.
Setelah kami membayar tiket masuk dan mendapatkan brosur dari resepsionis, pencarian informasi tentang menara air yang kini dikenal sebagai menara PDAM yang terletak tepat di depan museum perjuangan pun dimulai. Asril, petugas musem, memandu kami. Setelah secara singkat menjelaskan mengenai beberapa benda yang ada di museum tersebut seperti replika pesawat yang ada di halaman museum yang begitu ikonik.
Replika tersebut adalah model dari pesawat yang kini karam di sungai Batang Hari dekat kawasan yang kita kenal kini sebagai Sijenjang. Setelah itu kami diperkenalkan dengan sosok pahlawan Jambi, Sultan Thaha yang adalah anak dari Orang Kayo Hitam yang gigih melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan.
Setelah cerita sampai pada masa kemerdekaan, kami disuguhi cerita mengenai pengibaran bendera merah putih yang pertama kali di Jambi. Sayangnya informasi yang bisa digali dari museum pun ternyata masih kabur. Belum banyak penyelidikan mendalam mengenai peristiwa bersejarah ini.
“Masyarakat Jambi baru menerima berita kemerdekaan pada tanggal 19 Agustus 1949. Zaman dulu kan radio masih sangat ekslusif, jadi penyebaran berita pun sangat sulit” terangnya.
Cerita mengenai pengibaran benderanya sendiri bermula di kawasan benteng (kawasan yang kini kita kenal sebagai simpang museum perjuangan). Menara air (Water Toor) sendiri dipilih sebagai tempat pengibaran dikarenakan oleh posisinya yang berada tepat di samping bekas kerajaan Melayu Jambi atau disebut Tanah pilih (sekarang mesjid Al-Falah) dan diperkirakan adalah bangunan tertinggi di Jambi pada masa itu. Pada hari yang sama, diadakan juga upacara bendera untuk merayakan hari kemerdekaan. Sayangnya, tidak ada keterangan mengenai siapa yang pertama kali mengibarkan sang saka merah putih di bumi pesako betuah ini. Keberadaan benderanya sendiri pun masih dalam tanda Tanya besar.
Yang disayangkan adalah tidak adanya perawatan khusus pada menara yang kini menjadi bagian dari kantor pemerintahan itu. Bangunan bergaya art deco peninggalan Belanda itu kini menjadi tempat kosong yang tak lagi difungsikan seperti sedia kala. Dahulu menara itu menampung persediaan air bagi masyarakat Jambi. Kawasan benteng sendiri yang membentang dari korem dekat SMPN 1 Jambi hingga Danau sipin, dahulu adalah daerah elit pemerintahan dengan gedung-gedung pemerintahan yang kini entah apa kabarnya.
“Kita sendiri masih mensurvey mengenai sejarah kemerdekaan di Jambi, rasanya kan sayang kalau kita sendiri tidak tahu sejarah kita.” Ujar lelaki berpenampilan bersahaja ini.
Alhasil, data yang kami dapatkan hanya sepanjang cerita dan diorama-diorama mengenai pengibaran bendera semata.
Tak sampai di situ saja, kami juga mengunjungi menara air yang kini tak lagi menjadi bangunan tertinggi di Jambi itu. Satpam PDAM yang bertugas hari itu membenarkan bahwa menara tersebut adalah menara yang dahulu menjadi saksi kemerdekaan menyentuh Jambi ini. Malah, satpam yang bersangkutan mengatakan bahwa tempat yang sudah lama kosong dan tidak dimasuki orang itu angker dan berhantu. Trotoar juga tidak berhasil mendapatkan izin untuk masuk, karena dikhawatirkan gedung yang tidak pernah dibuka itu sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Sungguh mengecewakan jika pemerintah tidak memelihara cagar sejarah semacam ini. Bangunan asli peninggalan Belanda sudah sangat jarang dilihat di Jambi. Padahal gedung yang menyimpan banyak sejarah ini juga berada tepat di pinggir jalan.
“Semestinya kalo memang itu tempat pengibaran benderea pertama kali di Jambi harus ada lah paling tidak keterangannya. Pemerintah juga masak tidak menghargai sejarah, harusnya ada perawatan untuk gedung tua seperti itu.” Kata Pipit dan Melisa, dua mahasiswa yang kami tanyai tentang menara air tersebut.
Reporter : Cholidah, Siti Sarah, Juli Maria, Jelita Sartika Lestari T, Fitri Wahyuni, Zakia Era Zuana
0 komentar:
Posting Komentar