Kamis, 30 Agustus 2012

Ketika Mahasiswa Takut menjadi Sarjana


Ketika Mahasiswa Takut menjadi Sarjana

            Sumber PantonaNews.com menyebutkan Jumlah perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 3070, meliputi perguruan tinggi negeri (PTN) 83 (2,7%) dan perguruan tinggi swasta (PTS) 2.987 (97,3%). Setiap tahun semua perguruan tinggi menghasilkan ratusan ribu lulusan. Persoalannya hanya sebagian kecil yang berhasil diterima bekerja di sektor pemerintahan atau swasta, sebagian lainnya berhasil menciptakan usaha mandiri, dan sebagian lagi menjadi pengangguran profesional. Pengangguran yang berbekal ijazah pendidikan tinggi dengan tingkat intelektual yang rata-rata di atas lumayan.
Dalam kurun waktu 2009-2010, jumlah lulusan PTN dan PTS yang masih menganggur bisa mencapai 600 ribu. Jumlah tersebut mengalami kenaikan setiap tahun, karena rata-rata 30 persen dari 200 ribu mahasiswa yang diwisuda setiap tahun, tidak terserap di dunia kerja.
Angka yang tidak main-main bagi seorang yang dianggap memiliki kemampuan dibidang akademik dan berwawasan intelektual. Sarjana, dipandang sebagai seorang berilmu dan memiliki masa depan cerah. Pandangan masyarakat terhadap “sarjana” memang berlebihan. Mereka dianggap sebagai orang terdidik yang serba bisa dalam segala hal. Namun, pada kenyataannya jumlah “penganggur profesional” ini semakin bertambah per tahunnya. Seiring dengan fenomena ini, pihak Perguruan Tinggi semakin membuka lebar kesempatan untuk menjadi mahasiswa, bahkan lewat jalur masuk yang bervariasi nama, uang dan prosurnya.
Menurut penelitian Vocation Education Development Center di Malang Jawa Timur menjelaskan bahwa lulusan perguruan tinggi kebanyakan tidak memiliki keterampilan khusus. Selain itu, mereka hanya mengetahui dan menguasai bidang/ilmu tertentu. Akibatnya, mereka menjadi penganggur terpelajar, begitu lulus mereka hanya mencari kerja dan tidak bisa menciptakan lapangan kerja. “sekarang yang ingin aku jalani ialah mencari kerja (apa saja asal halal.red) lalu akan membuat usaha kost-kost’an” ungkap seseorang sarjanawati beberapa waktu lalu. Lulusan tahun 2010 ini bisa mewakili beberapa sarjana yang masih menganggur. Lalu kenapa baru terfikir ketika sudah menjadi sarjana? Kenapa rencana masa depan baru akan dibuat setelah lulus? Apakah sikap hedonis dan apatis lebih banyak dilakukan semasa menjadi mahasiswa?
Pada kenyataannya IPK 4 juga tidak menjamin seorang sarjana mampu ber-fighter dalam dunia kerja. Memang lulusan perguruan tinggi tidak dirancang untuk siap kerja, tapi lebih tepat dikatakan siap kerja. Maka sedikit menggelikan bila lulusan Sarjana miskin keterampilan. Bahkan yang sudah bekerja juga banyak yang tidak sesuai bidang nya atau yang tertulis dalam ijazah sarjana yang dimilikinya. Senangkah bila seorang sarjana bekerja dengan pimpinan tamatan dibawah kita, yang tidak bertitel sederajat atau bahkan lulusan Sekolah menengah? . Maka hendaklah Mahasiswa tidak berfikiran dengan sebuah titel (sarjana.red) hidupnya akan makmur loh jinawi . Tapi terus berinisiatif dalam peta hidupnya masing-masing, menjadi apa nantinya? Bagaimana masa depannya? Harus menjadi perenungan jauh ketika masih menjadi seorang mahasiswa.
JuliMaria



0 komentar: