Minggu, 21 Maret 2010

Lestarilah Batik Jambi

Lebih kurang lima kilometer dari jembatan Aur Duri I menuju Seberang Kota Jambi, terdapat beberapa rumah yang dijadikan tempat produksi batik Jambi. Salah satunya adalah Batik Mentari. Terletak di jalan K.H Zuhdi RT 08 Kelurahan Ulu Gedong Kecamatan Danau Teluk.

Di halaman pagar depan, tumbuh empat batang pohon pinang dan cocor bebek. Terdapat rumah seluas tiga belas kali dua puluh meter berbentuk leter L dengan tiang beton berwarna kuning yang lehernya melingkar ukiran batik berbentuk kembang.

Nurjanah, perempuan berumur empat puluh dua tahun ini memulai usaha batiknya sejak 1995. Ia merupakan alumni SMAN 7 Seberang Kota Jambi. Belajar membatik ia dapatkan secara gratis dari teman kakaknya yang kebetulan adalah pengrajin batik.
“Belajarnya itu dak bayar, pada waktu proses pemberian warnonyo baru bayar”, katanya.

Apabila kita masuk ke dalam rumahnya, kita akan disuguhkan pemandangan batik-batik yang sudah jadi. Di kiri-kanan ruangan terdapat etalase yang berisikan baju, dasar pakaian, dan selendang dengan motif batik yang berbeda-beda. Ada motif Durian Pecah, Pauh, Durian Keris, Anggur Kupu-kupu, Angso Duo, Melati Rantai, Kapal Sanggat, Bungo Tanjung dan Melati Ancok. Di tengah-tengah ruangan berdiri beberapa patung mengenakan contoh batik.
Dalam pembuatan batik, ada beberapa proses yang harus dilakukan.
“Ada enam proses dalam pembuatan batik ini”, katanya.
Pertama, proses pemotongan. Kain-kain di potong dalam beberapa ukuran. Kedua, kain dicelup ke dalam zat berisi cairan. Ketiga, proses pembentukan motif batik, Ada yang di cap dan ada juga yang ditulis. Keempat, pencolekan atau pencelupan. Kelima, ditembok, ditutup untuk dijadikan warna. Dan yang terakhir adalah proses pelorotan, pada proses ini kain direbus untuk melepaskan lilin-lilin yang masih menempel.

Dalam proses pembuatan, Nurjanah dibantu tiga puluh orang karyawannya. Tujuh karyawan bekerja di rumahnya, selebihnya mengerjakan di rumah masing-masing.
“Alhamdulillah, sayo ko biso bantu program pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran”, katanya.

Untuk persediaan bahan baku ia mendapatkan langsung dari Solo. Mulai dari kain sutera, semi sutera, dan katun. Serta zat-zat pewarna untuk batik. Selain itu, bahan baku yang didatangkannya juga dijual kepada pembatik-pembatik lokal.

Dalam satu minggu, produksi batiknya menghasilkan tiga ratus potong. Satu potong berukuran dua meter. Jika dikalkulasikan rata-rata perbulan produksi batiknya mencapai seribu dua ratus lima puluh potong atau dua ribu lima ratus meter.

Untuk modal usaha, Nurjanah mendapatkan tambahan modal dari PT. Telkom, dengan jaminan sertifikat rumah beserta tanah, Pada awalnya ia diberikan pinjaman modal Rp 5-10 juta, lama kelamaan usahanya bertambah maju, dan ia diberi kepercayaan pinjaman modal hingga Rp 40 juta. Dengan bunga kredit 6% per-tahun, ia cicil setiap bulan.
“Kalau pinjam di bank mano semurah itu bungonyo”, katanya.
Di samping menerima pesanan pembuatan batik di rumahnya sendiri, ibu ini juga memasarkan di dua toko miliknya yang terletak di Sipin dan TAC.

Faridh, salah satu toko batiknya yang ia beri nama sesuai dengan nama anaknya. Terletak di jalan Kolonel Abunjani Sipin Jambi. Toko yang terletak di simpang lampu merah Sipin di antara salon Sophie Martin dan dealer Honda Sinar Sentosa. Di sini ia mempekerjakan dua karyawannya Ana (20) dan Diah (29). Dua wanita ini siap melayani pemesanan dan pembelian batik mulai 09.00-17.00, kecuali hari minggu yang hanya buka dari 08.00-14.00.

Di toko ini tersedia bahan-bahan batik sutera, katun, dan semi sutera. Harga di patok permeter untuk bahan katun 30.000, semi sutera 45.000, dan sutera 110.000. Sedangkan untuk pakaian jadi mulai 110.000 untuk bahan katun dan 350.000 untuk sutera. Pembeli tidak hanya berasal dari dalam kota saja. Pembeli asal Bangko, Kerinci, Bungo, dan Rantau Panjang juga sering berkunjung ke toko ini. Mereka cenderung membeli batik motif Durian Pecah dan Angso Duo. Rata-rata omzet perbulan toko Faridh bisa mencapai Rp 12.000.000-Rp 13.000.000, sedangkan toko miliknya Mentari, yang terletak di TAC perbulan mencapai hingga Rp 20.000.000.

Ketika ditanya karyawannya tentang gaji yang diberikan, mereka menjawab, “Kecil bang, perbulan cuma Rp 600.000, itu termasuk ongkos, makan dan pulsa”, kata Diah.

Nurjanah pernah ditawari untuk hanya menjual batik Jambi buatan Jawa, ia menolak.
“Kami ingin melestarikan batik Jambi buatan orang Jambi ko lah, kebanyakan pedagang di siko nak jual bae”, katanya.

Ia tidak ingin nantinya masyarakat Jambi tidak lagi memproduksi batik lokal. Sewaktu seorang pegawai Dinas Kehutanan dari Pusat datang ke rumahnya, pegawai tersebut mengatakan batik Jambi itu adalah ‘batik unik’. Kalau batik Jawa sudah lumrah. Untuk itu, ia berencana ingin membuka galeri batik di rumahnya.
“Kalo tanah di sebelah rumah ko mau di jual, nak kami besarkan tempat ko, biak orang enak bekunjung, walau sekedar nengok-nengok bae”, ujarnya.
(Sopian Hidayat)

0 komentar: