Oleh: Sopian Hidayat
Plagiat, budaya atau kebiasaan? Bagaimana praktik plagiat bisa tumbuh subur di negeri kita? Lalu apa yang harus kita lakukan?
Menjiplak mungkin sudah menjadi budaya di negara kita, mulai dari pendidikan dasar, perilaku negatif tersebut masih berkembang. Kalau kita tanya anak-anak sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga menengah, perilaku tersebut masih sering di jumpai. Hal ini menjadi berkembang dan tumbuh subur di negara kita. Racun pembasminya masih sulit untuk di temukan.
Di perguruan tinggi misalnya, ketika mahasiswa dihadapkan pada masa ujian semester, kebanyakan mereka tidak percaya diri. Mereka lebih percaya kepada teman-temannya yang dianggap lebih pintar dari mereka, padahal hal itu belum tentu.
Banyak praktik plagiat yang dilakukan agar mereka bisa lulus menghadapi ujian. Apalagi sekarang sudah jamannya media online, setiap informasi bisa di update kapan pun dan dimanapun. Cara mencontek mereka lebih canggih jika dibandingkan jaman dulu. Apalagi sekarang era konvergen, semua going digital, cukup dengan alat yang simple dan mobile mereka mudah mencontek dengan cara yang lebih canggih.
Budaya inilah yang melekat di otak mereka hingga dewasa, karena sudah terbiasa dengan hal tersebut. Ini dijadikan sebagai landasan untuk mencapai segala sesuatu dengan mudah.
Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia terkait masalah plagiarisme, seperti 1.082 guru di Riau ketahuan menggunakan dokumen palsu untuk menjadi guru profesional, kasus seorang profesor yang ketahuan mengutip artikel ilmiah karya Carl Ungerer dari Australia, serta masih banyak praktik plagiarisme kita temukan di lingkungan akademis yang luput dari ekspose media masa.
Di kampus, mahasiswa yang ingin mendapatkan gelar S1, S2, dan S3 yang salah satu syaratnya adalah membuat tulisan ilmiah berupa skripsi, tesis, dan disertasi, juga tak luput dari plagiarisme. Bagi mahasiswa yang tidak memiliki keahlian dalam pembuatan tulisan tersebut, mereka akan menyerahkan kepada penerima jasa pembuatan tulisan ilmiah, mulai dari skripsi, hingga disertasi ada. Dengan tarif yang telah di tentukan mahasiswa mendapatkan gelar tersebut dengan mudah. Sehingga bisa kita lihat lahir sarjana-sarjana bertitel panjang tapi ilmunya sama dengan orang yang berpendidikan rendah. Ironisnya lagi jika orang seperti itu memegang kepemimpinan di pemerintahan, mau di bawa kemana bangsa kita, jika isi pemerintahan adalah para plagiator.
Maraknya kasus seperti ini terjadi dikarenakan kurang ketatnya pengawasan yang mengatur hal tersebut. Hendaknya diberikan sanksi tegas bagi para plagiator. Di perguruan tinggi misalnya, skripsi dengan mudah dibawa pulang oleh mahasiswa dengan alasan ingin mengambil contoh bentuk skripsi. Hal ini jika terjadi kepada mahasiswa yang malas, bisa saja skripsi tersebut digunakannya untuk dijiplaknya atau ditukarkan dengan mahasiswa perguruan tinggi lain. Isi dari tulisan tersebut dijiplaknya sebagian dengan hanya mengganti sebagian isi di dalamnya.
Menyikapi hal tersebut ada beberapa solusi yang bisa diterapkan. Pertama, penyadaran akan buruknya akibat yang ditimbulkan dari praktik plagiarisme. Proses penyadaran ini bisa dilakukan dengan cara sosialisasi tentang batas-batas yang diperbolehkan dalam mengutip hasil karya orang lain, serta akibat ditimbulkan dari perilaku tersebut yang sangat memalukan jika ketahuan. Kedua, karya yang ditulis dalam pembuatan suatu tulisan ilmiah harus menyertakan data-data terlampir serta sumber yang diperoleh agar terbukti keaslian data tersebut.
Ketiga, memberikan sanksi bagi para plagiator dengan tegas, karena menyangkut pencurian hasil karya orang lain. Hal yang ditimbulkan dari pencurian tersebut sangat mengecewakan pembuatnya. Kita yang bersusah payah membuat karya, malah orang lain yang dengan enaknya menjiplak karya tersebut. Untuk itu sanksi yang diberikan adalah bagaimana agar para plagiator tidak melakukan hal itu lagi.
Keempat, untuk para penerima jasa pembuatan tulisan ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi, hendaknya diberikan sanksi juga. Karena hal tersebut membuat mahasiswa menjadi malas untuk mengerjakan sendiri tulisan ilmiahnya. Seperti yang kita lihat, jasa pembuatan karya ilmiah bukan hal yang baru. Hal itu sudah terjadi sejak dulu, bahkan mereka dengan tanpa berdosa memasang iklan di media massa terkait jasa yang diberikannya. Hal ini juga harus diberantas.
Mudah-mudahan praktik plagiat bisa berkurang di negara kita, dengan dukungan semua pihak, mari kita cegah plagiarisme agar tidak bertambah menjadi budaya negatif bagi bangsa kita.
Minggu, 21 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
betuul, cegah budaya plaiat di negeri kita.
Posting Komentar