Ketika Aceh bergejolak, Saeno sekeluarga memutuskan lari menuju Jambi. Keputusan ini diambil tidak lain agar ia sekeluarga selamat dari peperangan. Setelah sembilan tahun berada di Jambi, ia terus berharap akan kemapanan hidup keluarganya. Meskipun harta tak ia bawa, keluarganya membuat Saeno percaya bahwa roda kehidupan akan mengubah nasib istri dan anaknya.
Saeno mendiami suatu daerah pelosok di Aceh Selatan, Aceh Singkil namanya. Ia ingat betul pada umurnya yang masih muda, 20 tahun kala itu, ia bersama orangtuanya merantau ke Aceh dari Jawa.
“Pada 1982 saya merantau dari Ngawi, Jawa Timur ke Aceh bersama keluarga. Umur 20 tahun saya sudah berada disana,” papar pria berumur 48 tahun ini mengenang.
Ia melanjutkan bahwasanya keadaan saat dimana ia tiba Aceh masih aman. Ia membuka lahan karet dan sawit. Dan itu dilakukannya selama 18 tahun. Jatuhnya Presiden Soeharto, membuat Aceh bergejolak lebih keras, pertempuran antara gerilya GAM dan tentara Indonesia sering berimbas pada para pendatang, membuat ia dan keluarganya merasa tidak betah. “Sangat rawan” ujar pria tersebut. “Apalagi selama satu minggu TNI belum datang ke Singkil,” katanya.
Lalu, ia menceritakan keadaan di rumahnya, “Kalau siang kami sekeluarga di rumah, sedangkan malam harinya kami terpaksa ke kebun, tepatnya dibelakang bukit dekat Singkil.”
Mengakui bahwa Aceh sangat rawan, ia mencontohkan beberapa keluarga di dekat rumahnya dibunuh oleh GAM. Pembunuhan menjadi berita sehari-hari yang ia dengar, anak kecil yang dibunuh bukanlah hal asing baginya. “Banyak keluarga yang dibunuh, seingat saya ada lima orang laki-laki di Singkil dibunuh. Saya pun kenal orang GAM yang dibunuh dan dibelah kedua tubuhnya dengan menembakkan peluru ke tubuhnya,” katanya.
Melawan GAM menurutnya sama saja meyerahkan nyawa. Ia tidak bisa melawan karena GAM memakai senjata api, sedangkan ia tidak memiliki satu senjata pun. Istri Saeno, Sulangsih, mengutarakan bahwa peristiwa tersebut mempengaruhi kehidupan mereka. Wanita berbaju gamis ini serta merta berkata, “Makan dan tidur terancam. Bahkan satu bulan tidak tidur.”
Dengan keadaan Aceh di Singkil yang sangat rawan, Saeno memutuskan beranjak dari tempat yang sudah 18 tahun ia tempati. Rumah, kebun karet dan sawit masing-masing sebesar 1 ha ia relakan.
Hujan mengiringi kepergian Saeno sekeluarga dari tanah Singkil. Tanah liat di pegunungan menyaksikan perjuangan keluarga yang beranggotakan lima orang ini. Lima truk sawit dan 300 KK dari Singkil membawa mereka pergi.
“Tepatnya Februari 2001, kami keluar dari rumah dan naik truk sawit yang bermuatan 10 KK/truk. Saat itu hanya hujan yang mengiringi kepergian kami dari rumah. Air mata saya menetes, tapi bukan karena menangis. Saya berkata, ‘cobaan apalagi ini ya Allah?’”
Sekitar 300 KK dari 500 KK di Singkil bertolak menuju Transito, tempat dimana mereka bisa mengungsikan diri, aman, dan menjamin keselamatan keluarganya. “Selama satu minggu kami di pengungsian, tepatnya di Kec. Sepulus Salam, Transito.”
Berada di pengungsian tidak pula membuat perasaan Saeno tenang. Ia lalu memutuskan pindah ke Jambi. Hal ini disetujui oleh istri Saeno, yang saat itu membawa anak berumur satu bulan. “Anak kami, Ahmad, dibawa ke Jambi. Saat itu umurnya baru satu bulan.”
Akhirnya pada Maret 2001, ia sekeluarga pindah ke Jambi bersama 17 KK lainnya. Menurutnya hanya ada dua alasan mengapa Jambi menjadi pilihannya. “Saya bisa mencari nafkah sebagai buruh di PT dekat sini, lagipula ada saudara saya juga. Kami sudah tidak tahan, daripada nyawa keluarga terancam kan?”
Transito-Jambi, melewati Bungo, malam pekat, hingga jam 3 subuh ia tiba di Jambi. Bukan hanya kenangan perjalanan melewati Bungo saja yang Sulangsih ingat, ia masih ingat bagaimana menahan rasa lapar. “Dua hari dua malam kami tidak makan, anak saya Santi menangis karena kelaparan. Semuanya kami tahan, asalkan kami bisa berada di tempat yang aman.”
Petang menunjukkan peraduannya. Saeno, melanjutkan ucapan istrinya, “Sekitar 17 KK (40 jiwa) dari Aceh datang ke desa Sumber Sari ini. Hanya saja yang bertahan disini tinggal delapan KK. Selebihnya sudah merantau ke ranah lain.”
Asing, itulah yang Saeno rasakan bersama keluarganya saat tiba di desa Purwodadi. Bahkan bukan hanya asing, hinaan sempat mampir ke telinganya. “Dulu kami dianggap asing. Tetangga sering menghina, namun kami tetap bersabar.”
Bantuan sangat diharapkan Saeno. Pengungsi yang baru datang ke sebuah tempat asing pasti mengharapkan pertolongan dari pihak setempat. Tapi ia tak dipedulikan pihak desa!
“Sama sekali tidak ada tanggapan dari pihak desa saat kami baru disini. Bantuan pemerintah seperti BBM pun tidak mampir ke kami. Hanya sekali bantuan yang saya terima, itupun dari pemerintah Aceh yang disalurkan dari Pekanbaru. Uang yang kami terima cukup besar, yakni Rp. 7.000.000,-, serta 100 kg beras. Jadilah buat pesangon lebaran,” ungkap Sulangsih.
Seketika buruh menjadi pilihan pertama pria ini. Ia sempat menjadi buruh di PT. WKS selama empat tahun. Gaji pertamanya sebesar Rp.17.000/hari ia kumpulkan bersama istrinya. Alih-alih ingin mencari pekerjaan lain, Saeno melepaskan mata pencahariannya. Ia beralih mencari getah meranti.
“Tidak apa-apa lah saya buka ceki. Saya dak punyo lahan, jadi saya mencari getah meranti. Ini saya lakukan bertahun-tahun, karena tidak ada pekerjaan lain yang saya lakukan,” ujarnya seraya menunjukkan getah meranti. Permukaan yang kasar dan teksturnya yang bergelombang, meninggalkan kesan tersendiri bagi saya.
Istrinya pun tidak tinggal diam, bekerja sebagai buruh di PT. Trimitra Lestari, Sulangsih lakukan demi menghidupi keluarga.
“Sehari-hari saya naik sepeda ontel. Setengah enam pagi saya mulai berangkat, jam dua siangnya saya balik ke rumah. Pendapatan mencukupi kebutuhan keuarga, perharinya saya dapat Rp. 27.000,-,” ujarnya.
Empat tahun lamanya ia dan istrinya mengumpulkan uang untuk membeli rumah. Uang senilai Rp. 7.000.000,- terkumpul pada 2004. “Satu-satunya harta kami yang paling berharga saat ini ya rumah ini. Kami beli tahun 2004 silam.”
Bagi Saeno dan keluarganya, rumah kayu papan berwarna biru ini membuat ia terkenang kembali, setelah lahan karet dan sawit ia relakan saat Aceh bergejolak. Gundukan tanah berlapis beralaskan karpet plastik di ruang tamu rumah berukuran 20 × 50 m ini mengingatkan saya akan rumah teman sewaktu di Nipah Panjang dahulu. Di dinding rumahnya terpampang foto Wali Songo, lukisan, serta foto pernikahan anak tertuanya, Swarni, dengan pria asal Sragen, yang juga menempati Sumber Sari. Televisi LG juga menjadi ciri khas rumah ini.
“Sedih rasanya jika mengingat peristiwa tersebut. Kami meninggalkan rumah dan kebun di Singkil. Badan saya dulu haahh tinggal tulang, hanya kulit yang melingkupi tubuh saya!” katanya.
Kebun sawit yang ia tinggalkan saat di Aceh berjumlah 225 pokok batang sawit. Sekarang ia hanya mampu merawat 15 batang sawit di belakang rumahnya. Harapan yang keluar dari mulut Saeno terlontar, “Saya ingin lahan sendiri untuk menanam sawit.”
Saat diminta menunjukkan KTP-nya, ia mengeluarkan dua buah KTP, dan ia berikan kepada Mas Andreas, guru saya di workshop menulis beberapa waktu lalu. Saya melihat sebuah KTP bertuliskan nama Saeno. Dua-duanya lusuh, menguning karena dimakan waktu. Satu tersobek, satunya lagi masih utuh. Baginya, KTP ini sebagai kenang-kenangan saat berada di Aceh.
Kini, TSM Blok C Jl. Arjuna, Dusun Sumber Sari ini telah mengukir sejarah hidup yang tidak bisa ia ceritakan selama satu hari kepada kami berdua. Disamping Saeno dan Sulangsih, seorang bocah berumur satu bulan yang dibawanya ke Jambi telah mencicipi bangku SD. Anak paling bungsunya ini seketika melihat kamera saat aku memotretnya. Lucu, dan narsis juga anak ini, batinku.
Sulangsih yang sedari tadi ikut ngobrol bersama kami pun berceletuk, “Alhamdulillah kami sudah punya rumah. Anak sudah besar. Kami berharap anak kami kelak bisa mengubah kehidupan kami. Roda hidup terus berputar. Mudah-mudahan ada pekerjaan yang lebih layak bagi kami.”
Saya melihat kembali beberapa foto yang tadi sore saya ambil sebelum berpamitan dengan keluarga tersebut. Saya masih ingat, Ahmad malu-malu saat diajak berfoto. Saya berpose bersama mereka. Saya berada di tengah, Saeno berada di sisi kanan, dan Sulangsih mendekat di sebelah kiri saya. Ucapan Saeno terngiang di kepala ini. Berkali-kali terdengar di telinga hingga pukul 19.26, dan mengingatkan pada mama dan papa yang kutinggal di rumah setelah empat hari berada di CD PT. WKS. Kebahagiaan merupakan dambaan bagi keluarga Saeno, dan begitu pun bagi diriku.
“Harta dan kekayaan bisa dicari, tapi tidak halnya pada anak dan keluarga.” (Bella Moulina)