Selasa, 10 September 2013

SARJANA kok PENGANGGURAN ?!


Oleh : Al Roful Akhdhar
Seorang sarjanawan atau sarjanawati adalah seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dibidang akademik dan berwawasan luas. Sarjana, dipandang sebagai seorang yang berilmu dan memiliki masa depan cerah. Pandangan masyarakat terhadap “sarjana” memang berlebihan. Mereka dianggap sebagai orang terdidik yang serba bisa dalam segala hal. Namun, pada kenyataannya “penganggur profesional” ini makin bertambah setiap tahunnya.
Jika demikian adanya, untuk apa melahirkan ratusan ribu sarjana tetapi hanya menjadi pengangguran?. Sebagian besar lulusan perguruan tinggi tidak begitu peka terhadap apa yang diinginkan mahasiswa, dalam konteks ini pihak perguruan tinggi hanya menjadi fasilisator dalam mewujudkan keinginan mahasiswa untuk mendapatkan titel atau ijazah semata. Hal inilah yang menyebabkan mahasiswa takut menjadi sarjana yang sebenarnya .
Edi Pahar Harahap, dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Pendidikan Masa Depan dan Masa Depan Pendidikan” menjelaskan bahwa ‘realitas bahwa pendidikan tidak hanya pengetahuan tetapi keterampilan’. Dosen FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJA ini juga menerangkan bahwa konsep pendidikan masa kini adalah bagaimana membuat generasi untuk terampil pada satu fokus bakat yang dimiliki dan sesuai dengan perkembangan otonomi.Hal ini tidak lain adalah bertujuan untuk menciptakan SDM yang siap bekerja tanpa ada pengangguran lagi dikemudian harinya.
Sumber PantonaNews.com menyebutkan, jumlah perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 3070, meliputi perguruan tinggi negeri (PTN) 83 (2,7%) dan perguruan tinggi swasta (PTS) 2.987 (97,3%). Setiap tahun semua perguruan tinggi menghasilkan ratusan ribu lulusan. Persoalannya hanya sebagian kecil yang berhasil diterima bekerja di sektor pemerintah atau swasta, sebagian lainnya berhasil menciptakan usaha mandiri dan sebagian lagi menjadi pengangguran profesional. Pengangguran yang berbekal ijazah pendidikan tinggi dengan tingkat intelektual yang rata-rata di atas lumayan.
Melihat fenomena yang terjadi, arus persaingan lulusan perguruan tinggi semakin gencar mempromosikan perguruan tingginya masing-masing, tanpa memperhatikan bahwa lulusan yang mereka (perguruan tinggi, red) lahirkan tidak memiliki keterampilan khusus, selain itu mereka hanya menguasai bidang/ilmu tertentu. Akibatnya, mereka menjadi penganggur terpelajar, begitu lulus mereka hanya mencari kerja dan tidak bisa menciptakan lapangan kerja. “Sekarang yang ingin aku jalani adalah kerja, selagi halal kenapa tidak?,” ungkap Sopandri, salah seorang sarjanawan ilmu hukum Unbari. Lulusan tahun 2012 ini bisa mewakili sarjana yang masih menganggur.
Jelaslah sekarang bahwa untuk menjadi seorang sarjana yang sebenarnya sangatlah tidak mudah, perlu tanggung jawab yang besar dalam memikul beban titel yang sinkron terhadap apa yang dicita-citakan dan sesuai dengan bidang ilmu yang kita geluti masing-masing.
Lalu berbagai pertanyaan muncul dari mahasiswa semester atas. Apa yang harus kita lakukan setelah jadi sarjana? Ini menjadi semacam perang batin didalam diri setiap calon sarjanawan maupun sarjanawati. Bagaimana tidak, mereka telah membayangkan betapa susahnya mencari lapangan pekerjaan. Dengan bermodalkan IPK 4 saja tidak menjamin seseorang dapat ber-fighter dalam dunia kerja. Memang lulusan perguruan tinggi tidak dirancang untuk bekerja,tetapi lebih tepat dikatakan siap kerja. Maka sedikit menggelikan bila lulusan sarjana miskin keterampilan. Bahkan yang sudah bekerja juga banyak yang tidak sesuai dengan bidang yang tertulis di dalam ijazah yang dimilikinya.
Kabul Prasetyo (2012) dalam tulisannya menyatakan bahwa Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengganguran adalah sebagai berikut: (1) Besarnya Angkatan Kerja Tidak Seimbang dengan Kesempatan Kerja. Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang terjadi (2) Struktur Lapangan Kerja Tidak Seimbang (3) Kebutuhan jumlah dan jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia.
Untuk melahirkan lulusan sarjana yang siap kerja dan tidak menjadi “penganggur profesional” maka Surat Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 : Wajib Publikasi Ilmiah Bagi S1/S2/S3 menjelaskan bahwa :
1)      Untuk program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah
2)      Untuk program S2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah nasional terutama yang terakreditasi Dikti
3)      Untuk program S3 harus ada makalah yang sudah diterima terbit di jurnal Internasional.
Peraturan  tersebut berlaku untuk lulusan di atas agustus 2012. Sebenarnya surat edaran tersebut berniatan baik, yaitu untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menyuarakan pendapat dan hasil penelitian melalui jalur yang lebih akademis. Hal ini juga baik untuk mengangkat nama indonesia sebagai negara yang memiliki banyak orang-orang yang berintelektualitas tinggi.
            Dampak buruk yang diprediksi bakal didapat adalah adanya makalah asal-asalan yang diterbitkan dengan beragam cara, demi cepat lulus. Hal inilah yang ditakutkan di kemudian hari setelah menjadi sarjana. Mereka yang menulis sebuah karya atau jurnal ilmiah bukan dari hasil pemikirannya sendiri tetapi malah membayar orang. Orang-orang seperti inilah yang bakal menjadi pengangguran, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
            Di balik segala kemungkinan negatif di atas, sesungguhnya himbauan ini justru sangat baik untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Penulisan jurnal ilmiah tersebut bisa menjadi batu loncatan dalam mengukur kemampuan diri agar nantinya tidak menjadi seorang sarjana pengangguran yang tidak mengerti apa itu sarjana yang sebenarnya.
            Pengekstrasian skripsi menjadi makalah dapat membantu akademisi lain untuk melengkapi penelitiannya di masa depan. Dengan demikian, Indonesia sudah dapat dikatakan berswasembada sumber penelitian dan tidak lagi ketinggalan dengan negara-negara tatangga yang jurnal ilmiahnya jauh lebih aktif dan menang jumlah.
Belakangan pengangguran menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar sarjana muda kita. Tetapi semua permasalahan pasti ada jalan keluar,begitu pula masalah pengangguran di negeri ini, khususnya pengangguran terhadap para sarjana muda.
Bagaimana memanfaatkan kemampuan sarjana muda ?
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap manusia sesungguhnya memiliki bakat dan kemampuan untuk dikembangkan secara optimal. Setidaknya inilah ungkapan kuno yang masih berlaku sampai sekarang,  bahwa setiap manusia itu berbeda dengan yang lain. Setiap manusia diberi keahlian dan keterampilan sesuai dengan kemampuannya. Kuncinya adalah terus menerus belajar dari kesalahan karena kesalahan adalah guru yang paling mengerti dengan diri sendiri.
Yang kedua adalah bagaimana pihak pemerintah melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil. Disadari atau tidak,masih banyak sarjana muda yang setelah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi,mereka langsung pulang kampung,tujuannya tidak lain adalah bagaimana memajukan kampung halamannya. Dengan pemerintah mendirikan BUMD di daerah terpencil setidaknya dapat menampung sarjana yang menganggur.
Selanjutnya pemerintah harus yakin akan kemampuan orang-orang asli pribumi, hal ini bertujuan agar kita tidak selalu dikekang oleh investor-investor asing. Berbekal produk asli orang-orang Indonesia maka negara ini akan merasa tinggi martabatnya di kancah internasional.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa untuk menjadi sarjana yang berkualitas tidaklah mudah, perlu proses belajar yang gigih. Ilmu pengetahuan saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang menjadi orang yang sukses. Sarjana muda berarti orang-orang yang berjiwa pantang menyerah. Jika lulusan sarjana muda punya kemampuan yang kiranya dapat membagun negeri ini menjadi lebih baik, bukan tidak mungkin pemerintah akan terus menambah lapangan pekerjaan yang sesuai dengan apa yang tertera di ijazah masing-masing dari mereka. Yang nantinya mereka akan terus membangun negeri ini menjadi negeri yang kaya akan inovasi dan ide-ide kreatif yang siap dikembangkan secara maksiamal. (***)

1 komentar:

Aldi Rahman mengatakan...

Terima kasih informasinya, sangat bermanfaat