Seorang sarjanawan atau sarjanawati
adalah seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dibidang akademik dan
berwawasan luas. Sarjana, dipandang sebagai seorang yang berilmu dan memiliki
masa depan cerah. Pandangan masyarakat terhadap “sarjana” memang berlebihan.
Mereka dianggap sebagai orang terdidik yang serba bisa dalam segala hal. Namun,
pada kenyataannya “penganggur profesional” ini makin bertambah setiap tahunnya.
Jika demikian adanya, untuk apa
melahirkan ratusan ribu sarjana tetapi hanya menjadi pengangguran?. Sebagian
besar lulusan perguruan tinggi tidak begitu peka terhadap apa yang diinginkan
mahasiswa, dalam konteks ini pihak perguruan tinggi hanya menjadi fasilisator
dalam mewujudkan keinginan mahasiswa untuk mendapatkan titel atau ijazah
semata. Hal inilah yang menyebabkan mahasiswa takut menjadi sarjana yang
sebenarnya .
Edi Pahar Harahap, dalam sebuah
artikelnya yang berjudul “Pendidikan Masa Depan dan Masa Depan Pendidikan”
menjelaskan bahwa ‘realitas bahwa pendidikan tidak hanya pengetahuan tetapi
keterampilan’. Dosen FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJA ini juga
menerangkan bahwa konsep pendidikan masa kini adalah bagaimana membuat generasi
untuk terampil pada satu fokus bakat yang dimiliki dan sesuai dengan perkembangan
otonomi.Hal ini tidak lain adalah bertujuan untuk menciptakan SDM yang siap
bekerja tanpa ada pengangguran lagi dikemudian harinya.
Sumber PantonaNews.com menyebutkan, jumlah perguruan tinggi di Indonesia
pada tahun 2010 mencapai 3070, meliputi perguruan tinggi negeri (PTN) 83 (2,7%)
dan perguruan tinggi swasta (PTS) 2.987 (97,3%). Setiap tahun semua perguruan
tinggi menghasilkan ratusan ribu lulusan. Persoalannya hanya sebagian kecil
yang berhasil diterima bekerja di sektor pemerintah atau swasta, sebagian
lainnya berhasil menciptakan usaha mandiri dan sebagian lagi menjadi
pengangguran profesional. Pengangguran yang berbekal ijazah pendidikan tinggi
dengan tingkat intelektual yang rata-rata di atas lumayan.
Melihat fenomena yang terjadi, arus
persaingan lulusan perguruan tinggi semakin gencar mempromosikan perguruan
tingginya masing-masing, tanpa memperhatikan bahwa lulusan yang mereka (perguruan
tinggi, red) lahirkan tidak memiliki keterampilan khusus, selain itu
mereka hanya menguasai bidang/ilmu tertentu. Akibatnya, mereka menjadi
penganggur terpelajar, begitu lulus mereka hanya mencari kerja dan tidak bisa
menciptakan lapangan kerja. “Sekarang yang ingin aku jalani adalah kerja,
selagi halal kenapa tidak?,” ungkap Sopandri, salah seorang sarjanawan ilmu
hukum Unbari. Lulusan tahun 2012 ini bisa mewakili sarjana yang masih
menganggur.
Jelaslah sekarang bahwa untuk menjadi
seorang sarjana yang sebenarnya sangatlah tidak mudah, perlu tanggung jawab
yang besar dalam memikul beban titel yang sinkron terhadap apa yang
dicita-citakan dan sesuai dengan bidang ilmu yang kita geluti masing-masing.
Lalu berbagai pertanyaan muncul dari
mahasiswa semester atas. Apa yang harus kita lakukan setelah jadi sarjana?
Ini menjadi semacam perang batin didalam diri setiap calon sarjanawan maupun
sarjanawati. Bagaimana tidak, mereka telah membayangkan betapa susahnya mencari
lapangan pekerjaan. Dengan bermodalkan IPK 4 saja tidak menjamin seseorang
dapat ber-fighter dalam dunia kerja.
Memang lulusan perguruan tinggi tidak dirancang untuk bekerja,tetapi lebih
tepat dikatakan siap kerja. Maka sedikit menggelikan bila lulusan sarjana
miskin keterampilan. Bahkan yang sudah bekerja juga banyak yang tidak sesuai
dengan bidang yang tertulis di dalam ijazah yang dimilikinya.
Kabul Prasetyo (2012) dalam tulisannya
menyatakan bahwa Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengganguran adalah
sebagai berikut: (1) Besarnya Angkatan Kerja Tidak Seimbang dengan Kesempatan
Kerja. Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar
daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang
terjadi (2) Struktur Lapangan Kerja Tidak Seimbang (3) Kebutuhan jumlah dan
jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang Apabila
kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja,
pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi
kesesuaian antara tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia.
Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak
dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia.
Untuk melahirkan lulusan sarjana yang siap kerja
dan tidak menjadi “penganggur profesional” maka Surat
Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 : Wajib Publikasi Ilmiah Bagi S1/S2/S3
menjelaskan bahwa :
1)
Untuk program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah
2)
Untuk program S2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah nasional
terutama yang terakreditasi Dikti
3)
Untuk program S3 harus ada makalah yang sudah diterima terbit di jurnal
Internasional.
Peraturan tersebut berlaku untuk lulusan di atas agustus 2012. Sebenarnya surat
edaran tersebut berniatan baik, yaitu untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa
dalam menyuarakan pendapat dan hasil penelitian melalui jalur yang lebih
akademis. Hal ini juga baik untuk mengangkat nama indonesia sebagai negara yang
memiliki banyak orang-orang yang berintelektualitas tinggi.
Dampak
buruk yang diprediksi bakal didapat adalah adanya makalah asal-asalan yang
diterbitkan dengan beragam cara, demi cepat lulus. Hal inilah yang ditakutkan
di kemudian hari setelah menjadi sarjana. Mereka yang menulis sebuah karya atau
jurnal ilmiah bukan dari hasil pemikirannya sendiri tetapi malah membayar
orang. Orang-orang seperti inilah yang bakal menjadi pengangguran, baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Di
balik segala kemungkinan negatif di atas, sesungguhnya himbauan ini justru
sangat baik untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Penulisan jurnal
ilmiah tersebut bisa menjadi batu loncatan dalam mengukur kemampuan diri agar
nantinya tidak menjadi seorang sarjana pengangguran yang tidak mengerti apa itu
sarjana yang sebenarnya.
Pengekstrasian
skripsi menjadi makalah dapat membantu akademisi lain untuk melengkapi
penelitiannya di masa depan. Dengan demikian, Indonesia sudah dapat dikatakan
berswasembada sumber penelitian dan tidak lagi ketinggalan dengan negara-negara
tatangga yang jurnal ilmiahnya jauh lebih aktif dan menang jumlah.
Belakangan pengangguran menjadi momok
yang menakutkan bagi sebagian besar sarjana muda kita. Tetapi semua
permasalahan pasti ada jalan keluar,begitu pula masalah pengangguran di negeri
ini, khususnya pengangguran terhadap para sarjana muda.
Bagaimana memanfaatkan kemampuan
sarjana muda ?
Hal pertama yang perlu diperhatikan
adalah bahwa setiap manusia sesungguhnya memiliki bakat dan kemampuan untuk
dikembangkan secara optimal. Setidaknya inilah ungkapan kuno yang masih berlaku
sampai sekarang, bahwa setiap manusia
itu berbeda dengan yang lain. Setiap manusia diberi keahlian dan keterampilan
sesuai dengan kemampuannya. Kuncinya adalah terus menerus belajar dari
kesalahan karena kesalahan adalah guru yang paling mengerti dengan diri
sendiri.
Yang kedua adalah bagaimana pihak
pemerintah melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal
dan terpencil. Disadari atau tidak,masih banyak sarjana muda yang setelah
menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi,mereka langsung pulang
kampung,tujuannya tidak lain adalah bagaimana memajukan kampung halamannya.
Dengan pemerintah mendirikan BUMD di daerah terpencil setidaknya dapat
menampung sarjana yang menganggur.
Selanjutnya pemerintah harus yakin akan
kemampuan orang-orang asli pribumi, hal ini bertujuan agar kita tidak selalu
dikekang oleh investor-investor asing. Berbekal produk asli orang-orang
Indonesia maka negara ini akan merasa tinggi martabatnya di kancah
internasional.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah
bahwa untuk menjadi sarjana yang berkualitas tidaklah mudah, perlu proses belajar
yang gigih. Ilmu pengetahuan saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang menjadi
orang yang sukses. Sarjana muda berarti orang-orang yang berjiwa pantang
menyerah. Jika lulusan sarjana muda punya kemampuan yang kiranya dapat membagun
negeri ini menjadi lebih baik, bukan tidak mungkin pemerintah akan terus
menambah lapangan pekerjaan yang sesuai dengan apa yang tertera di ijazah
masing-masing dari mereka. Yang nantinya mereka akan terus membangun negeri ini
menjadi negeri yang kaya akan inovasi dan ide-ide kreatif yang siap
dikembangkan secara maksiamal.
(***)
1 komentar:
Terima kasih informasinya, sangat bermanfaat
Posting Komentar